Edisi November 2007

No. 12 Tahun I

COVER STORY

MEMPERBINCANGKAN NASIB BAHASA MADURA
Cacatan dari Seminar Pra Kongres Bahasa Madura
Bahasa Madura (BM) kembali menjadi pemikiran serius para penuturnya, apakah akan dibiarkan hilang sejalan dengan hilangnya kebanggaan penuturnya, ataukah dipertahankan? Kedua pilihan itu menjadi perbincangan dalam seminar pra kongres BM (15/11).

Kekhawatiran terhadap nasib BM tak berlebihan jika bercermin pada penelitian Unesco. Berdasarkan data Unesco, terdapat 6500 bahasa setiap tahun dan 100 bahasa di dalamnya alami proses kematian. Penyebabnya, pertama karena perkawinan antarbangsa dan suku yang menghasilkan keturunan dengan menggunakan bahasa pengantar berbeda dari bahasa ibunya sebagai langkah kompromistis.

Kedua, karena hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penuturnya. Ketiga, tidak dilakukannya pembukuan dan pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa itu. Keempat, adanya pergeseran nilai di tengah masyarakat yang mengedepankan aspek ekonomis dan praktis. Bahasa yang ditinggalkan, biasanya dianggap tak memiliki nilai ekonomis dan tidak praktis.

Empat penyebab di atas menjadi penyebab pula dalam proses kematian bahasa daerah, termasuk BM. Pada 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI, bahasa daerah berjumlah 731. Pada 2007 tinggal 726 karena 5 bahasa diantaranya mati. Keadaan ini juga terjadi dalam BM. Pada tahun 2000 (hasil penelitian B.K Purwo) penutur BM sebanyak 13 juta atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada 2007 (hasil penelitian Pusat Bahasa) penutur BM tinggal 10 juta atau sekitar 2,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Ini berarti BM alami ancaman kepunahan serius jika tak dilakukan upaya penyelamatan.

Keinginan menyelamatkan BM dari ancaman kepunahan inilah, seminar pra kongres dilakukan. Sebab, kongres BM yang akan dilaksanakan jika tak disiapkan secara matang akan kembali menjadi ajang temu alumni para tokoh yang diwarnai perdebatan tanpa ujung dan sia-sia. Padahal kongres adalah harapan terakhir semua pihak mengakhiri polemik tentang BM selama ini.

Kongres BM akan menjadi tumpuan untuk menjadikan BM sebagai bahasa yang besar. Bahasa akan menjadi besar apabila memiliki empat ciri. Pertama, adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa. Kedua, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya. Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk mengunakannya dalam komunikasi.

Merujuk pada empat ciri di atas, upaya penyelamatan BM dapat dilakukan dengan empat cara pula. Yakni membukukan dan membakukan, menguatkan tradisi menulis dan bertutur melalui media. Selain itu, mengajarkan di lembaga pendidikan dan peningkatan komitmen penuturnya.

Upaya pembakuan harus melewati proses kodifikasi (tahap pembakuan kosa kata, ejaan, dan tata bahasa). Pembakuan tersebut dicapai melalui pembukuan dengan penyusunan kamus bahasa. Bahasa yang telah mengalami proses ini menjadi bahasa standar/baku yang dilakukan dengan tulisan. Sebab standardisasi bahasa ditemukan dalam tulisan, bukan dalam tuturan.

Jika menengok ke belakang, upaya pembakuan dan pembukuan BM sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1904 yang dimulai dengan penyusunan kamus BM yang ditulis Kiliaan. Tahun 1913 Penninga dan Hendriks menerbitkan kamus BM dengan mendaftar sekitar 7000 lema kosa kata Madura (termasuk kosa kata Madura Kuno).

Langkah penyusunan kamus diikuti Safioedin (1977) dan tahun 2007 Pemkab Pamekasan bersama tim Pakem Maddu menyusun kamus BM. Upaya lain pembakuan kosa kata dilakukan tahun 2006 dengan memasukkan sejumlah kosa kata Madura ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang akan diterbitkan 2008. Tahun 2007 Balai Bahasa Surabaya (Kini Balai Bahasa Jatim) menyusun kamus Indonesia-Madura.

Pada kedua upaya terakhir, penulis menjadi ketua tim. Sementara upaya pembakuan ejaan dimulai 34 tahun silam. Yakni melalui serasehan yang dilaksanakan 28-29 Mei 1973 di Pamekasan. Hasilnya hanyalah berupa konsep mengambang yang belum menjadi kata sepakat diantara para pakar BM. Baru tahun 2002 dilakukan upaya lanjutan berupa lokakarya, "Pemantapan Ejaan Bahasa Madura" di Surabaya. Hasilnya, rumusan serasehan 1973 dapat dilaksanakan dengan beberapa penyempurnaan. Kemudian tahun 2004 diterbitkan EYD BM yang disempurnakan lagi pada 27 September 2005 dalam acara "Pemasyarakatan Pedoman EYD Bahasa Madura" yang dilaksanakan di Hotel Elmi Surabaya.

>> baca selengkapnya


KLAMPIS TIMUR GELAR ROKAT TASE'

Warga pesisir pantai Klampis Timur, Kecamatan Klampis, Bangkalan punya gawe. Selama dua hari terakhir di desa nelayan ini digelar ritual tradisional berupa rokat tase’. Acara dimaksud dikemas meriah dengan aneka rangkaian kegiatan.

Informasi yang dirangkum wartawan Koran ini, pembuka rokat tase’ yang merupakan ritual tahunan di desa setempat dibuka saronenan. Tak tanggung-tanggung, kelompok saronen dari Sumenep pun didatangkan. Selama sehari penuh (Selasa, 13/11), masyarakat desa setempat, termasuk sejumlah warga desa tetangga lainnya, bermusik-ria dalam kegembiraan.
>> baca selengkapnya


LOMBANGKU SAYANG, LOMBANGKU MALANG
Menyusuri pantai Lombang, yang tampak ranum dengan dedaunan cemara udang, kini hanya bersisa sekitar radius sekitar 650 meter, setelah itu hamparan pasir yang meranggas dan ratusan pohon cemara udang dalam posisi jumpalitan, akibat penebangan liar.
Jarang wisatawan memperhatikan hal ini, karena posisi rusaknya hutan cemara, berada di luar radius pusat hutan Lombang, namun bagian penting dari Pantai Lombang.
Dipantai ini pula, ditemui sejumlah belahan kayu cemara udang, untuk dijadikan kayu bakar. Menurut Muri, warga Lombang, tumpukan kayu tersebut, merupakan hasil penebangan yang dilakukan warga atas cemara miliknya. Namun ada juga yang dilakukan oleh warga, yang menebang secara liar.
>> baca selengkapnya